Sabtu, 06 Oktober 2012
Makanan Khas DIY Gudeg
Gudeg bagi sebagian orang asli Yogyakarta, yang lahir sebelum era kemerdekaan, seperti Mbah Pawiro Wiyono (75 tahun), petani buta huruf warga Desa Tlogoadi Kecamatan Mlati merupakan lauk pauk yang sudah dikenalnya sejak kecil. Nasi gudeg, demikian ia menyebut makanan tradisional masyarakat Yogyakarta yang terus eksis hingga sekarang. Mbah Pawiro menyebut gudeg sebagai makanan dari gori (nangka muda) yang rasanya manis tapi gurih, karena tambahan bumbu arehnya (santan kental) dan ampas minyak kelapa (klendo) yang lezat. Ditambah lauk pauk lainnya seperti tahu, sambal krecek dan daging ayam. Artinya, lelaki tua ini hanya mengenal gudeg basah. Kalau begitu, kapan orang Yogya mengenal gudeg kering yang relatif lebih awet dan tahan lama?
Gudeg, bukan berasal dari dalam lingkungan Kraton Yogyakarta. Namun merupakan makanan tradisional masyarakat. Gori atau nangka muda, adalah bahan baku utama gudeg yang lebih umum dikenal. Sebab di masa lalu, bahan baku ini sangat mudah diperoleh di kebun-kebun milik masyarakat Yogyakarta. “Walaupun ada pula bahan lainnya seperti manggar (pondoh kelapa), karena dulu batang pohon kelapa kerap dijadikan bahan bangunan dan jumlahnya banyak, tidak seperti sekarang. Selain itu ada pula gudeg dari rebung (anakan pohon bambu), tapi yang ini sekarang amat langka dibuat gudeg. Di jaman dulu orang Yogya hanya mengenal satu jenis gudeg, yakni gudeg basah. Gudeg kering dikenal setelahnya, sekitar 57-an tahun dari saat sekarang ini. Hal ini setelah orang-orang dari luar Yogya mulai membawanya sebagai oleh-oleh.
Keuntungannya, gudeg pun tumbuh sebagai home industry makanan tradisional di Yogya.ketika kami membahas kemungkinan makanan ini merupakan bekal berperang bagi pasukan Sultan Agung saat menyerbu Batavia, ternyata juga tidak tepat dianggap demikian. Apalagi tak ditemukan adanya literatur yang menyebutkan hal ini. Seperti disebut di bagian awal, di masa lalu orang Yogya belum mengenal gudeg kering yang biasa ditaruh di besek atau kendil, serta awet dibawa ke luar kota. “Pada penyerbuan pertama ke Batavia di tahun 1726-1728, pasukan Sultan Agung kalah. Setelah dibahas bersama para penasihat dan panglima perangnya, kekalahan pasukannya karena banyak yang mati dan lelah akibat kelaparan. Kesimpulannya, pasukan mereka butuh beras untuk tetap kuat sampai ke Batavia, ketika menceritakan kembali penyerbuan itu, berdasarkan literatur yang dibacanya. Lalu akhirnya pada penyerbuan pasukan Sultan Agung yang kedua kalinya, dibuatlah daerah-daerah logistik di kawasan Pantura. Dari sinilah muncul wilayah yang disebut Batang, Brebes, Bumiayu dan lainnya, yang menjadi lumbung beras bagi pasukannya. “Soal lauk pauknya apa, ya apa yang dapat dimasak di daerah logistik tersebut. Tidak harus gudeg, apalagi belum ada gudeg kering. Selain itu berdasarkan informasi dari abdi dalem Kraton Yogyakarta yang sudah sepuh, menu gudeg tidak berasal dari dalam istana. Tidak seperti stup jagung, yang memang dari istana karena menjadi klangenan salah satu sultan,” lanjut Herman. Tentu saja penuturan ini bukanlah sebuah akhir dari suatu diskusi tentang sejarah gudeg. Sebab siapa tahu, ada yang dapat menjelaskan lebih baik lagi. Misalnya, mengapa di dekat lingkungan Kraton Yogyakarta (kawasan Benteng di Jln. Wijilan) ada banyak penjual gudeg? Apa kaitannya dengan kraton?
Sekarang penjual gudeg banyak tersebar diseluruh wilayah Indonesia tidak hanya di daerah Yogyakarta yang menjual gudeg. Maka dari itu, kita harus melestarikan makanan tradisional Indonesia, agar tidak diklaim oleh negara lain.
sumber: http://hudazoneeating-eating.blogspot.com/2010/05/gudeg.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar